Tanjidor

Musik Tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke 14 sampai 16. Menurut sejarawan, dalam bahasa Portugis ada kata tanger yang artinya memainkan alat musik. Memainkan alat musik ini dilakukan pada pawai militer atau upacara keagamaan. Kata tanger itu kemudian diucapkan menjadi tanjidor.

Musik Tanjidor sangat jelas dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan antara lain : Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu Tanjidor bertambah dengan membawakan lagu-lagu Betawi. Dapat dimainkan lagu-lagu Gambang Kromong, seperti : Jali-Jali, Surilang, Siring Kuning, Kicir-Kicir, Cente Manis, stambul, dan persi.

Tanjidor berkembang di daerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Di daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat perkebunan dan villa milik orang Belanda.

Pada tahun 1950-an orkes Tanjidor melakukan pertunjukan ngamen, khususnya pada Tahun Baru Masehi dan Tahun Baru Cina (Imlek). Dengan bertelanjang kaki atau bersandal jepit mereka ngamen dari rumah ke rumah. Lokasi yang dipilih biasanya kawasan elit, seperti : Menteng, Salemba, Kebayoran Baru, yang merupakan daerah pemukiman orang Belanda. Atau mereka ke daerah lain yang penduduknya memeriahkan Tahun Baru. Pada Tahun Baru Cina biasanya Tanjidor ngamen lebih lama. Karena Tahun Baru Cina dirayakan sampai perayaan Cap Gomeh, yang dirayakan pada hari ke-15 setelah Imlek.