
Pantun Betawi sebagaimana pantun pada masyarakat Melayu umumnya, mempunyai kaidah atau pakem yang sudah baku. Bila pada pantun masyarakat Melayu yang hidup selama ini, sifatnya sangat formal, maka pantun Betawi justru sebaliknya. Ciri pantun Betawi yang mencolok adalah penggunaan Bahasa Betawi yang khas dengan pilihan kata dan unsur bunyi yang terkesan kocak, spontan, dan blak-blakan.
Kecairan pantun Betawi dapat kita temui dalam format yang “melenceng” dari pakem. Pakem pantun pada umumnya terdiri atas 4 baris, 2 baris pertama disebut sampiran, dua baris terakhir disebut isi. Penting diketahui pola penulisan pantun dikenal dengan istilah rima. Rima artinya persamaan suku kata pada tiap akhir baris atau dikenal dengan pola ab-ab.
Keistimewaan pantun Betawi justru berpola lebih bebas. Selain berpola rima ab-ab dikenal pula pola aa-aa. Begitupula dalam hal baris, berpola 4 baris yang disebut pantun, dan berpola 2 baris yang disebut karmina. Bahkan ada yang berpola 6 baris.
Berkenaan dengan isi pantun, sejumlah pantun Betawi mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan santun, humor, nasihat, ajaran-ajaran agama, dan kritik sosial.
Berbalas pantun sering digunakan dalam acara perkawinan yang biasa disebut Buka Palang Pintu. Caranya, si keluarga mempelai pria menjelaskan maksud kedatangan mereka dengan menggunakan pantun Betawi. Keluarga mempelai wanita juga menjawab dengan pantun, sehingga terjadilah berbalas pantun.
Sumber: Berbagai Sumber