Berita

Benyamin Sueb

Siapa tak kenal Benyamin Sueb? Seorang seniman asli Betawi yang sukses menjadi aktor dan penyanyi Indonesia dan meramaikan perfilman Indonesia dengan segudang prestasinya. Ia lahir di Kemayoran, Jakarta, 5 Maret 1939. Bang Ben begitu ia akrab disapa, menjadi figur yang melegenda di kalangan masyarakat Betawi khususnya karena berhasil menjadikan budaya Betawi dikenal luas hingga ke mancanegara. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Lebih dari 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut.

Bakat seninya tak lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup klarinet dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat – menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain teater rakyat di zaman kolonial Belanda.

Sewaktu kecil, bersama 7 kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng. Benyamin bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem bas-nya dari kaleng drum minyak besi, keroncong-nya dari kaleng biskuit. Dengan “alat musik” itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu.

Kelompok musik Kaleng Rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh), tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi.

Ismail Marzuki

Pencipta lagu “Indonesia Pusaka” ini sebetulnya namanya hanya Ismail saja. Ayahnya yang bernama Marzuki. Entah kenapa, dua nama itu lama-lama jadi menyatu. Sebenarnya di Betawi lumrah saja nama hanya satu kata. Namun, sepertinya orang merasa harus memodernkan sosok Ismail ini, jadi di lekatkanlah nama ayahnya menjadi Ismail Marzuki.

Ismail adalah putra bangsa dari tanah Betawi. Lahir di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, dan meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Makamnya ada di kompleks Tempat Pemakaman Umum Karet, Jakarta Pusat. Kemampuan dan pembawaan Ismail pada masa jayanya disandingkan dengan Bing Crosby—musisi, penyanyi, penulis lagu, dan aktor Amerika Serikat dari generasi yang sama. Selera penampilannya pun menyerupai.

Namun, hidup Ismail tidak panjang. Dia meninggal pada usia 44 tahun karena sakit pada tahun 1958. Meski begitu, jejak langkahnya masih membekas dalam sampai sekarang, terutama lewat lagu-lagu gubahannya. Ismail menciptakan tak kurang dari 200 lagu. Indonesia Pusaka adalah salah satunya. Dia pun piawai menggubah lagu bernuansa romansa, selain tembang-tembang penyemangat perjuangan dan kecintaan pada Tanah Air. Namanya lagu Aryati, dulu sudah jadi tembang wajib buat para jejaka yang sedang dimabuk kepayang gadis idaman. Masih ada juga lagu O Sarinah—lagu gubahan pertamanya—, Kopral Djono, Rayuan Pulau Kelapa, Juwita Malam, Gugur Bunga, dan sebagainya.

Kalau boleh dibilang pencapaian prestasinya luar biasa. Genre lagu-lagu gubahan Ismail pun beraneka ragam, dari keroncong sampai swing. Nada-nada dan lirik besutannya pun sejak dulu bergema tak hanya di Jakarta atau Indonesia, tapi sampai juga ke negara tetangga bahkan tanah Eropa. Bila perlu liriknya pun menggunakan bahasa setempat

Kenangan atasnya melintasi zaman. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1968 menetapkan nama Ismail untuk pusat kesenian, yang sampai sekarang masih ada di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, yaitu Taman Ismail Marzuki.

Pitung (Si Pitung)

Pitung lahir di Pengumben, sebuah kampung kumuh di Rawabelong, dekat Stasiun Palmerah sekarang ini. Putra keempat dari Bang Piung dan Mpok Pinah ini bernama asli Salihoen. Masa kecilnya dihabiskan di pesantren pimpinan Hadji Naipin. Selain mengaji, dia belajar silat. Ketika dewasa, Pitung terkenal di kalangan rakyat Betawi sebagai seorang jago yang baik hati. Ia merampok para kompenie untuk dibagikan kepada rakyat miskin. Aksi-aksinya terekam dalam suratkabar Hindia Olanda, dan disebut sebagai salah satu buronan kelas kakap polisi kolonial.

Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian legenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi Rancak (sejenis balada), syair, atau cerita Lenong. Dalam versi Koesasi (1992), Pitung diidentikkan dengan tokoh Betawi yang membumi, seorang muslim yang saleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.

Setelah kematiannya, Si Pitung dengan cepat dilupakan orang-orang Belanda. Tapi tidak dengan orang Indonesia. Kisah Si Pitung terawat dengan baik, lewat lenong maupun film. Bagi mereka, Si Pitung adalah Robin Hood dari Betawi.

 

 

K.H Noer Ali

Zaman revolusi telah melahirkan banyak tokoh yang gagah berani dan memiliki kecakapan di bidang keilmuan serta taktik pertempuran. Salah satunya dalah K.H Noer Ali, beliau dilahirkan di Oejoeng Malang atau sekarang disebut dengan Ujung Harapan, Bekasi, pada 1914 M. Ayahnya bernama Anwar bin Layu dan ibunya Maemunah binti Tarbin.

Kiprah perjuangan KH Noer Ali sangat besar terutama di Bekasi, berkat kiprahnya dalam perjuangan Indonesia sampai ada ungkapan bukan orang Bekasi jika tidak mengenal K.H Noer Alie. Wajar saja kemudian beliau diberi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2006.

Beliau adalah ulama dan pejuang yang sempat menimba ilmu di Mekah dan baru pulang pada tahun 1940. Setibanya di kampung halaman, beliau berusaha mendirikan pesantren, hal itu dilandasi oleh keyakinan kemajuan hanya bisa diperoleh melalui pendidikan. Akhirnya pada tahun 1956 beliau berhasil  mendirikan Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3) Pendidikan. Pada 17 Desember 1986, Yayasan itu berganti nama dengan Yayasan Attaqwa atau Pondok Pesantren Attaqwa.

Ketika Indonesia merdeka beliau terpilih menjadi Ketua Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Ketika diselengarakan Rapat Raksasa di Lapangan Ikada Jakarta, pada tanggal 19 September 1945 beliau mengerahkan massa untuk hadir. Beliau lah yang memimpin pertempuran melawan Belanda di Pondok Ungu, 29 September 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan dan juga gerilya-gerilya lain.

Masyarakat mengenal beliau dengan Singa Karawang-Bekasi karena keberaniannya melakukan perlawanan terhadap penjajah. Beliau pernah menjabat sebagai ketua Laskar Rakyat Bekasi untuk mempertahankan kemerdekaan, kemudian juga menjadi Komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi. Jabatan-jabatan itu bukanlah hal main-main, jika bukan karena kemampuannya yang mumpuni tidak mungkin beliau bisa mengembannya. Beliau bersama Jenderal Oerip Soemohardjo juga mendirikan Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah.

KH Noer Ali juga dikenal sangat licin dan sulit ditangkap, karena itu beliau dijuluki oleh Belanda dengan si Belut Putih. Ada suatu kisah, ketika KH Ali Noer memasuki masjid dan kaki tangan Belanda bersenjata melihat, sandalnya di depan masjid langsung dijaga. Begitu ditunggu berapa lama beliau tidak keluar, kaki tangan Belanda pun penasaran. Ketika menengok ke dalam masjid ternyata KH Ali Noer sudah tidak ada. Beliau begitu cepat menyadari keberadaan kaki tangan Belanda dan gesit meloloskan diri.

 

Muhammad Husni Thamrin

Jika anda sering melintas di daerah Jakarta Pusat, pasti sudah tidak asing dengan nama Muhammad Hoesni Thamrin atau yang dikenal dengan sebutan M.H. Thamrin. Tokoh Betawi yang satu ini merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia.

M.H. Thamrin adalah putra Betawi yang lahir dan tinggal di daerah Sawah Besar, Jakarta Pusat. Ia lahir pada tanggal 16 Februari 1894. Teman-temannya memanggilnya Mat Seni. Ini adalah kebiasaan orang Betawi untuk menyingkat nama orang. Mat singkatan dari Mohammad. Sedangkan Seni dari Hoesni. Ayahnya adalah seorang Wedana. Wedana adalah pembantu Bupati yang membawahi beberapa orang Camat.

Sebagai putra Wedana, M.H. Thamrin berkesempatan sekolah sampai tingkat tinggi. Tiap pulang sekolah ia selalu melewati kampung-kampung pribumi yang kumuh. Timbullah keinginannya untuk memperbaiki nasib masyarakat pribumi. Semasa sekolah, M.H. Thamrin sudah tertarik pada politik. Ia sering berkumpul dengan pemuda-pemuda dari berbagai perkumpulan yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa.

Pada umur 25 tahun, M.H. Thamrin menjadi anggota Gemeenteraad Batavia atau Dewan Kotapraja Betawi. Di sinilah dia memperjuangan kehidupan masyarakat pribumi. Ia membangun sekolah untuk rakyat, membangun sarana kesehatan, memasang penerangan jalan, dan membangun kanal untuk mencegah banjir dari sungai Ciliwung.

Pada tahun 1923, M.H.Thamrin mendirikan Kumpulan Kaum Betawi. Atas keberhasilannya M.H. Thamrin diangkat menjadi wakil walikota Batavia. Kemudian ia menjadi anggota Volksraad atau Dewan Pertimbangan Rakyat.

Saat menjadi anggota Volksraad, perjuangannya bukan hanya untuk masyarakat Betawi, tetapi untuk Indonesia. M.H. Thamrin wafat pada tanggal 11 Januari 1941.