Berita

SM Ardan

Lahir di Medan pada 2 Februari 1931, Syahmardan atau Ardan sudah rajin menulis sejak duduk di Taman Siswa. Karya-karyanya banyak ditemukan di koran dan majalah seperti; Indonesia, Mimbar, Pujangga Baru, Zenith dan lain-lain.

Tulisan Ardan cukup beragam, dari puisi, novel hingga skenario film. Terang Bulan Terang di Kali menjadi karya novelnya yang sukses di pasaran. Novel ini sempat beberapa kali cetak ulang karena tingginya peminat. Sedangkan untuk skenario, Ardan sukses menulis cerita Si Pitung hingga menjelma jadi kebanggaan warga Betawi.

Selain dunia tulis-menulis, Ardan juga dikenal sebagai jago lenong Betawi. Waktunya banyak dihabiskan untuk ngamen Lenong dari kampung ke kampung hingga bisa mentas di Taman Ismail Marzuki. Ketelatenannya menekuni lenong membuat namanya juga lekat dengan seniman Lenong yang disegani seniman Betawi dan juga seniman nasional.

Firman Muntaco

“Jangan takut disebut kampungan dengan logat Betawi” itulah pesan Firman Muntaco kepada anak-anaknya. Anak Betawi kelahiran Petojo 15 Mei 1935 itu dikenal sangat kuat menjaga budaya Betawi. Dia tak mau budaya Betawi hilang karena generasi muda gengsi dianggap kampungan karena menggunakan logat Betawi.

Firman dikenal sebagai penulis dengan dialek Betawi. Tulisan pertama Firman muncul di rubrik “Cermin Jakarta” di surat kabar mingguan, Berita Minggu. Kiprah Firman di dunia seni tulis menulis pun terus berkembang. Beragam tulisan cerpen Betawi, cerita silat hingga skenario film sukses dibuatnya. Salah satu skenario tulisannya yang terkenal adalah “Ratu Amplop” yang filmnya dibintangi Benyamin Sueb.

Kecintaannya pada Betawi, membuat dia mendirikan ‘Sanggar Betawi Firman Muntaco’. Lewat sanggar ini, dia beberapa kali tampil di televisi mengenalkan budaya Betawi. Dia juga pernah jadi bintang tamu “Salam Canda” yang dibawakan Ebet Kadarusman yang cukup populer di tahun 1992.

Benyamin Sueb

Siapa tak kenal Benyamin Sueb? Seorang seniman asli Betawi yang sukses menjadi aktor dan penyanyi Indonesia dan meramaikan perfilman Indonesia dengan segudang prestasinya. Ia lahir di Kemayoran, Jakarta, 5 Maret 1939. Bang Ben begitu ia akrab disapa, menjadi figur yang melegenda di kalangan masyarakat Betawi khususnya karena berhasil menjadikan budaya Betawi dikenal luas hingga ke mancanegara. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Lebih dari 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut.

Bakat seninya tak lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup klarinet dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat – menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain teater rakyat di zaman kolonial Belanda.

Sewaktu kecil, bersama 7 kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng. Benyamin bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem bas-nya dari kaleng drum minyak besi, keroncong-nya dari kaleng biskuit. Dengan “alat musik” itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu.

Kelompok musik Kaleng Rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh), tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi.

Ismail Marzuki

Pencipta lagu “Indonesia Pusaka” ini sebetulnya namanya hanya Ismail saja. Ayahnya yang bernama Marzuki. Entah kenapa, dua nama itu lama-lama jadi menyatu. Sebenarnya di Betawi lumrah saja nama hanya satu kata. Namun, sepertinya orang merasa harus memodernkan sosok Ismail ini, jadi di lekatkanlah nama ayahnya menjadi Ismail Marzuki.

Ismail adalah putra bangsa dari tanah Betawi. Lahir di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, dan meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Makamnya ada di kompleks Tempat Pemakaman Umum Karet, Jakarta Pusat. Kemampuan dan pembawaan Ismail pada masa jayanya disandingkan dengan Bing Crosby—musisi, penyanyi, penulis lagu, dan aktor Amerika Serikat dari generasi yang sama. Selera penampilannya pun menyerupai.

Namun, hidup Ismail tidak panjang. Dia meninggal pada usia 44 tahun karena sakit pada tahun 1958. Meski begitu, jejak langkahnya masih membekas dalam sampai sekarang, terutama lewat lagu-lagu gubahannya. Ismail menciptakan tak kurang dari 200 lagu. Indonesia Pusaka adalah salah satunya. Dia pun piawai menggubah lagu bernuansa romansa, selain tembang-tembang penyemangat perjuangan dan kecintaan pada Tanah Air. Namanya lagu Aryati, dulu sudah jadi tembang wajib buat para jejaka yang sedang dimabuk kepayang gadis idaman. Masih ada juga lagu O Sarinah—lagu gubahan pertamanya—, Kopral Djono, Rayuan Pulau Kelapa, Juwita Malam, Gugur Bunga, dan sebagainya.

Kalau boleh dibilang pencapaian prestasinya luar biasa. Genre lagu-lagu gubahan Ismail pun beraneka ragam, dari keroncong sampai swing. Nada-nada dan lirik besutannya pun sejak dulu bergema tak hanya di Jakarta atau Indonesia, tapi sampai juga ke negara tetangga bahkan tanah Eropa. Bila perlu liriknya pun menggunakan bahasa setempat

Kenangan atasnya melintasi zaman. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1968 menetapkan nama Ismail untuk pusat kesenian, yang sampai sekarang masih ada di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, yaitu Taman Ismail Marzuki.