Berita

Lebaran

Lebaran adalah salah satu puncak kegembiraan setelah menjalankan masa bakti dan ketakwaaan. Untuk sampai  pada tahap Lebaran masih beberapa tahap lagi yang harus dilalui dengan baik dan benar. Tahap itu adalah mengerjakan ibadah puasa Ramadhan dan membayar zakat fitrah.

Orang Betawi mengenal paling sedikit tiga macam lebaran, yaitu pertama Lebaran Idul Fitri seperti yang sudah disebutkan di atas, kedua Lebaran Aji  yaitu lebaran bulan haji tanggal 10, 11, dan 12 bulan Dzul Hijjah dan memotong hewan kurban berupa kambing, sapi, atau kerbau yang dagingnya didistribusikan kepada fakir-miskin. Ketiga Lebaran Anak Yatim yaitu lebaran khusus untuk membahagiakan anak yatim-piatu. Lebaran ini dilaksanakan tanggal 10 Muharram tahun baru Islam. Pagi-pagi anak-anak yatim sudah dikumpulkan. Terlebih dahulu diadakan zikir-tahlil dan membacakan doa bagi orang tua yang telah meninggal. Setelah itu mereka dihibur, diberi makan lezat dan berkat; diberi hadiah-hadiah (pakaian, alat tulis, tas sekolah) dan uang.

Kaulan / Nazar

Masyarakat Betawi pinggir menyebut Nazar dengan kata ngucap dan kaulan.

Nazar, ngucap, kaulan adalah semacam janji yang diniatkan dalam hati dan diucapkan dengan tegas serta dapat didengar oleh orang di sekitarnya.

Karena ini merupakan ikrar, maka akan sangat mempengaruhi perjalanan hidup orang yang ngucap selanjutnya. Artinya nazar itu harus dilaksanakan sesuai janji dan manakala tidak dilaksanakan akan berakibat buruk bagi yang nazar.

Itulah sebabnya orang Betawi sangat berhati-hati bila ingin ngucap (kaulan, nazar). Karena jika ngucap telah diikrarkan meskipun secara tidak sadar, mau tidak mau harus dilaksanakan ucapan itu.

Kepercayaan atau keyakinannya pada ucapan atau niatan yang dinazarkan itu membuatnya seperti dibayang-bayangi beban atau hutang sehingga keadaan itu membuat hidupnya tidak tenang.

Sumber: Berbagai Sumber

 

Upacara Mangkeng

Upacara Mangkeng diambil dari kata pangkeng yang artinya kamar. Pangkeng itu kata benda, Mangkeng kata kerja. Upacara ini dilakukan oleh seorang dukun, biasanya dukun perempuan yang disebut dengan Dukun Pangkeng, karena seluruh kegiatan upacara ini diselenggarakan di pangkeng.

Pada masyarakat Betawi Upacara Mangkeng dikenal dengan beberapa sebutan, antara lain, Dukun Dudukin (karena sang Dukun menduduki pendaringan), Dukun Nyarang (karena Sang Dukun seolah-olah membuat sarang di pangkeng), Dukun Nolak Ujan (karena Sang Dukun berpperan juga sebagai pawang hujan). Dukun ini diminta oleh orang yang ingin menyelenggarakan pesta perkawinan dan sebagainya, agar berjalan lancar tanpa suatu halangan apapun.

Dalam melaksanakan tugas ritualnya, Dukun Pangkeng mempersonifikasikan dirinya sebagai Dewi Sri Pohaci (Sang Dukun berdandan sebagaimana layaknya seoorang Dewi) yaitu Dewi Kesuburan dan Kemakmuran. Tugas utama Dukun Pangkeng selain yang sudah disebutkan di atas, juga mencatat pemasukan dan pengeluaran dari tuan rumah yang tengah menyelenggarakan pesta. Semua bantuan sumbangan dari keluarga maupun masyarakat sekitarnya dicatat dengan tertib. Dalam melaksanakan tugasnya Sang Dukun dibantu oleh seorang asisten yang menjadi penghubung antara dia dengan tuan rumah.

Tugas yang justru paling penting adalah melakukan ritual yang tujuannya, agar orang-orang yang diundang selalu ingat dan datang pada pelaksanaan pesta (hajatan). Juga merapal jampe agar sedikit atau sebanyak apapun makanan yang disiapkan selalu cukup.

Selama tugasnya, Sang Dukun tidak pernah keluar dari Pangkeng, kecuali ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan. Maka komunikasi dengan tuan rumah diwakili oleh asistennya.

Tugas Dukun berakhir sehari setelah acara pesta yang diselenggarakan oleh tuan rumah. Sebagai pencatat keluar masuk sumbangan dari masyarakat, maka catatan itu dilaporkan kepada tuan rumah.

 

Upacara Baritan / Sedekah Bumi

Upacara Baritan diselenggarakan oleh masyarakat Betawi, khususnya di kampung Pondok Rangon, dan Kampung Setu, Jakarta Timur. Kata Baritan berasal dari kata Baraka dalam ucapan masyarakat Betawi menjadi berkah, yang artinya karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.

Upacara Baritan disebut juga Bebarit dan beberapa nama lain seperti, Sedekah Bumi, Hajat Bumi, dan Bersih Kampung, sebagai tanda syukur masyarakat atas keberkahan hasil bumi yang melimpah ruah. Kelimpahruahan itu kemudian diekspresikan ke dalam berbagai bentuk persembahan berupa makanan, minuman, buah-buahan, hiburan, bancakan atau tahlilan dan menanam empat kepala kerbau (saat ini harga kerbau yang mahal sehingga digantikan dengan kepala kambing) di empat penjuru Kampung Pondok Rangon.

Baritan diselenggarakan setiap tahun (dahulu sesudah panen) pada Hari Raya Agung, tepatnya tanggal 10 bulan Haji. Di beberapa kampung diselenggarakan pada bulan Sya’ban atau bulan Rowah menjelang datangnya bulan puasa. Upacara ini dipusatkan di lokasi Keramat Ganceng dan dipimpin oleh kuncen (juru kunci) Keramat Ganceng.

Pelaksanaan ritus ini, terdiri atas empat tahap. Pertama persiapan (menghitung berapa kebutuhan biaya , jumlah undangan dan sebagainya). Tahap kedua adalah pelaksanaan ritualnya yang dipusatkan di makam Keramat Ganceng yang diisi dengan tahlilan dan makan bersama-sama seluruh peserta upacara. Biasanya pada siang sebelum upacara, seluruh peserta upacara mengantarkan sajen berupa bermacam-macam makanan, minuman, rujak, risol, kue basah, kue kering, aneka buah-buahan, dan semua yang merupakan hasil panen masyarakat setempat. Tahap ketiga adalah Ngarak Kepala Kerbau atau Kambing untuk ditanam di empat penjuru mata angin, termasuk menanam di Keramat Bambu Ampel. Tahap keempat hiburan berupa nanggap kliningan kanji, ibing sawer, wayang kulit dan layar tancep.

Upacara Bikin dan Pindah Rumah

Upacara Bikin dan Pindah Rumah (pinde rume) upacara adat yang berhubungan dengan siklus atau daur hidup manusia. Membikin atau membangun rumah bagi orang Betawi adalah pekerjaan yang amat penting. Itulah sebabnya dibutuhkan beberapa persyaratan antara lain tersedianya biaya, material bangunan, dan lahan tempat didirikannya bangunan. Selain itu ada syarat yang juga amat penting namun bukan material, yaitu perhitungan yang berporos kepada alam gaib.

Bahan bangunan dari jenis kayu yang sudah tua, antara lain nangka, duren, kecapi, jamblang, cempaka, jengkol, dan sebagainya. Jenis pohon itu memang banyak tumbuh di pemukiman Betawi. Jenis kayu nangka karena warnanya kuning tidak boleh digunakan membuat drompol (bagian bawah kusen pintu atau bagian bawah lainnya). Dipercaya jika kayu ini dilangkahi akan mengakibatkan sakit kuning. Kayu nangka utamanya digunakan sebagai tiang guru, dinding rumah, dan pintu panel berukir. Komposisi kayu nangka dan kayu jamblang akan jauh  lebih indah jika diambil bagian paling tengahnya. Jenis kayu cempaka seyogyanya dipakai untuk kusen pintu bagian atas. Ini mempunyai makna tertentu yaitu agar pemilik rumah senantiasa dihormati dan disenangi tetangga. Sedangkan jenis kayu asem pantang digunakan sebagai bahan bangunan. Sifat asem ditafsirkan akan mempengaruhi harmonisasi antara pemilik rumah dengan tetangganya. Dapat terjadi rumah mempunyai kesan kumal, gersang dan tidak berwibawa.

Pindah rumah (pinde rume) bagi orang Betawi memiliki arti khusus dan strategis. Rumah bukan hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dari gempuran musim yang tidak ramah, namun lebih dari itu rumah adalah tempat dimulai terjadinya generasi mendatang yang kokoh lahir batin. Itulah sebabnya pinde rume ini wajib dipersiapkan sematang-matangnya, membutuhkan ketersediaan dana serta melibatkan seluruh tetangga, tokoh masyarakat, alim ulama, grup kesenian, dan lain-lain.

Filosofi utama rumah dalam masyarakat Betawi dinyatakan dalam peribahasa kata “Mulaiin dari rumah, pulang ke rumah”

 

Tamatan Quran / Khatam Quran

Khatam Quran di Betawi sering disebut Tamatan Quran. Upacara ini sangat penting bagi orang Betawi  karena ini sebagai pertanda bahwa seseorang yang sudah melaksanakan upacara Tamatan Quran dianggap telah menjadi orang yang mengerti ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan anak yang didaftarkan belajar mengaji di langgar atau masjid oleh orang tuanya, memang kadang belum mempelajari bagaimana membaca Al-Quran dengan baik dan berakhlak.

Penentu bahwa murid sudah layak dikategorikan rampung dan tamat adalah guru mengajinya sendiri. Ia sendiri yang mengajarkan dan mengamati secara intensif kemajuan murid-muridnya. Murid yang dianggap sudah selesai akan dipanggil gurunya dan dinyatakan bahwa dia sudah tamat.

Di hari pelaksanaan upacara tamatan, anak yang Khatam Quran diantar keluarganya ke tempat pengajiannya. Di sana ia sudah ditunggu oleh guru, teman-teman mengajinya, dan tukang ngarak (bisa kumpulan Rebana Ketimpring, atau yang semacamnya). Dari tempat pengajian ini diadakan upacara pelepasan dan si anak akan diarak sampai ke rumahnya.

 

Upacara Kematian

Menurut tradisi Betawi, Upacara Kematian atau ngurus mayit dilakukan dari perawatan sampai penguburan dan disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Setelah dimandikan, dikafani, disalatkan, jenazah dikebumikan di pekuburan yang dilakukan oleh kaum pria. Kaum wanita tinggal di rumah dan mempersiapkan sedekahan untuk acara tahlil yang diadakan pada malam pertama sampai dengan malam ketujuh, dan dilanjutkan pada malam keempat puluh.

Orang yang biasa menangani persoalan kematian (yang memandikan, membersihkan jenazah, menggali kubur, merawat kain kafan, membumbu, kurung batang, yang mengundang) dibantu oleh masyarakat sekitar yang sudah memahami apa yang harus dikerjakan sesuai dengan urutannya. Mulai dari menyiapkan baskom sholawat, sampai kepada proses turun tangan (penguburan) dilakukan dengan gotong royong.

Kegotongroyongan ini masih terus dapat dilihat sampai pada malam kelimabelas, karena sepanjang hari-hari itu masyarakat sekitar atau tetangga memberikan bantuan moril dan materil kepada sohibul musibah. Dengan kata lain upacara kematian dalam kehidupan masyarakat Betawi merupakan simbol kegotongroyongan.

 

Upacara Perkawinan/Menikah

Tradisi Betawi mengenal cara yang bertingkat-tingkat untuk sampai pada tahap berumah tangga. Tahap-tahap itu pada saat ini memang jarang atau tidak lagi dilakukan, karena berbagai situasi. Tahap-tahap tersebut adalah :

  1. Ngedelengin, mencari calon menantu perempuan yang dilakukan oleh Mak Comblang
  2. Ngelamar, pihak lelaki melamar kepada pihak perempuan.
  3. Bawa Tande Putus, pernyataan atau kesepakatan kapan pernikahan akan dilaksanakan.
  4. Ngerudat, acara kedatangan rombongan keluarga mempelai pria ke rumah keluarga mempelai wanita, seraya membawa serah-serahan seperti roti buaya, pesalin, sie (peti yang diisi dengan bahan makanan mentah, seperti beras, lauk pauk, sayur mayur, dll), dll.
  5. Duduk Nike (Akad Nikah atau Ijab Kabul), ikrar yang diucapkan oleh mempelai pria di hadapan wali mempelai wanita.
  6. Kebesaran, upacara kedua mempelai duduk di puade (pelaminan) untuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan undangan.
  7. Negor, upaya suami merayu istrinya untuk memulai hidup baru sebagai sebuah keluarga.
  8. Pulang Tige Ari, upacara resepsi pernikahan yang dilakukan di rumah keluarga mempelai pria.

Sebelum pelaksanaan Ijab Kabul, lazimnya diselenggarakan upacara adat yang disebut Buka Palang Pintu. Upacara Buka Palang Pintu adalah salah satu prosesi yang harus dilalui oleh kedua mempelai menjelang pernikahannya. Upacara diawali dengan arak-arakan mempelai pria menuju rumah calon istrinya. Dalam arak-arakan itu, selain iringan Rebana Ketimpring juga diikuti barisan sejumlah seserahan mulai roti buaya (lambang kesetiaan), maket masjid, sirih nanas, pesalin, sayur mayur, uang, jajanan khas Betawi, dan pakaian.

Tradisi Palang Pintu ini merupakan pelengkap saat mempelai pria yang disebut “tuan raja mude” hendak memasuki rumah mempelai wanita atau ”tuan putri”. Awalnya kedua belah pihak saling bertukar salam. Lama kelamaan situasi memanas karena pihak mempelai wanita ingin menguji kesaktian dan kepandaian mempelai pria dalam berilmu silat serta mengaji. Dengan demikian pasti terjadi baku hantam dan pihak pria biasanya menang. Usai memenangkan pertarungan, pihak mempelai wanita akan meminta pihak mempelai pria untuk memamerkan kebolehannya dalam membaca Alquran.

 

Sunatan

Anak laki-laki yang akan beranjak dewasa diwajibkan untuk bersunat. Sunat bagi orang Betawi adalah upacara bagi anak lelaki dalam rangka menuruti ajaran agama Islam pada saat ia memasuki akil balig. Secara tradisional sunat dikerjakan oleh dukun sunat yang disebut bengkong dengan alat sunat terbuat dari bambu yang disebut bebango atau bango-bango.

Sehari sebelum hari H (hari pelaksanaan sunat) biasanya si anak yang disebut juga pengantin sunat akan dirias  dengan pakaian penganten sunat. Tahap pertama mengarak penganten sunat dengan mengelilingi kampung dengan urutan pembuka jalan, pengantin sunat akan mengendarai kuda atau juga tandu yang diiringi oleh barisan rebana dan pencak silat. Acara arakan ini dilakukan sehari sebelum hari khitan. Tujuannya untuk memberi hiburan atau memberi kegembiraan serta semangat kepada si anak bahwa besok dia akan dapat pengalaman baru, yaitu pengalaman sunat.

Pada upacara ini pelengkap dan pendukung acaranya antara lain : pakaian penganten sunat lengkap (sebenarnya jenisnya sama dengan jenis baju kebesaran penganten haji), pembaca shalawat dustur, grup Rebana Ketimpring sebagai pengarak dan membaca shalawat badar, kuda hias, delman hias dan grup Ondel-ondel.

Pagi-pagi si anak yang akan disunat dimandikan dan direndam air beberapa saat. Baru kemudian ia disunat oleh Bengkong, sekarang dokter. Tahap terakhir adalah selamatan. Bagi keluarga yang mampu biasanya acara selamatan ini dilengkapi dengan hiburan masyarakat.

 

Akeka (Hakekah)

Akeka adalah upacara selamatan pemberian nama dan cukur rambut bayi. Pada upacara itu dipotong kambing, satu ekor untuk bayi perempuan dan dua ekor untuk bayi laki-laki.

Hasil seluruh rambut yang dipotong atau dicukur dikumpulkan kemudian ditimbang dengan ukuran gram. Jumlah timbangan misalnya 5 gram, maka ayah si bayi (si bayi sekarang sudah diberi nama, misalnya namanya Muhammad Arief, akan membeli emas sebanyak 5 gram. Jumlah uang untuk membeli emas yang 5 gram emas itu akan disumbangkan kepada anak yatim piatu dan fakir miskin.

Upacara ini biasanya dilakukan pada hari ketujuh, keempatbelas atau setelah bayi coplok puser (puput pusar). Pada masyarakat Betawi salah satu upacara ini juga melakukan kerik tangan, dengan maksud serah terima tugas antara perawat bayi kepada ibunya atau dukun bayi kepada keluarganya.

Perlengkapan upacara antara lain kelapa muda, kembang tujuh rupa yang diletakan dinampan dan pendukung pembacaan Maulid Nabi. Ketika pembacaan riwayat atau Maulid Nabi sampai pada Serakal (Asyrakal), bayi dibawa berkeliling lingkaran mulai dari pemimpin upacara untuk memotong rambut sang bayi. Rambut yang dipotong dikumpulkan pada tempat yang telah disediakan. Setelah itu barulah kepala Sang Bayi dicukur sampai pelontos. Setelah dicukur, sang bayi dimandikan dan dirias kepada bagian alis lalu dibedong untuk menjaga bentuk badan bayi.